Ibu

Hari ini, 70 tahun lalu ibu dilahirkan.

Saya ingin mengingatnya karena telah 35 hari ibu wafat.

Hanya saya yang tak sempat menemani kepergiannya. Baru setengah jam kemudian, saya tiba di rumah setelah menempuh 5 jam perjalanan. Saya sedih tapi tak menangis berlebihan. Saya menyiapkan diri untuk mengurus ibu untuk terakhir kalinya.

Tiga hari sebelum ibu pergi , adik bungsu saya kerap memberikan kabar. Namun karena menjelang akhir tahun yang dalam benak saya notabene sudah terbayang dengan kemacetan luar biasa di jalur Bogor Sukabumi  ditambah kesibukan pekerjaan akhir tahun yang luar biasa, saya bilang saya akan datang setelah tahun baru.

Sayangnya semua  terlambat. Tak bisa memutar waktu untuk berandai-andai.

Dengan penyakit yang dialami sejak 2015 lalu, kesehatan fisik dan mental ibu menurun sangat tajam. Ibu yang biasa mengurus segala macam perkara, pergi kesana kemari tiba-tiba harus tergeletak tak berdaya. Saya tahu ibu frustasi karena tak bisa kembali aktif. Ditambah tak punya apa-apa. Semua orang yang ditolongnya saat sehat, menghilang tak mau tahu. Tak merasa bersalah. Tak peduli.  Kami anak-anaknya merasa terluka.  Sakit hati memang tak menghasilkan apa-apa, hanya saja kami belum bisa berlapang dada. Saat itu…

Ibu memang bukan sosok ibu yang hangat dan penuh ekspresi. Tapi saya tahu ibu mencintai kami dengan caranya tersendiri, tanpa kata. Demikian pula saya. Cinta kepada ibu terasa berbeda saat saya menjadi ibu. Menjadi lebih besar dan bermakna, hanya saja tetap tanpa kata.

Sekarang setelah ibu tak ada, saya menyesal tak sering-sering mengungkapkan perasaan.

Saat ini saya hanya punya doa yang kerap dipanjatkan  untuk ibu.. Allahummaghfirlaaha warhamha wa’ afiihi wa’fu anha. Ya Allah maafkanlah segala kesalahan ibuku, lapangkanlah kuburnya dan terimalah segala amalannya.